Hiruk-pikuk pemilihan umum (Pemilu) anggota legislatif maupun pemilihan presiden (Pilpres) yang juga disebut sebagai pesta demokrasi sudah mulai marak diwarnai dengan simbol-simbol peserta pemilu baik itu partai politik maupun gambar-gambar calon legislatif. Bak sebuah produk mereka banyak menggunakan iklan sebagai media sosialisasi kepada para konstituennya. Sebagai sarana sosialisasi, iklan memang cukup efektif mengenalkan seseorang kepada khalayak ramai bahkan tokoh yang sudah sering tampil dimedia massa baik cetak maupun elektronik juga banyak yang mengiklankan dirinya sebagai calon yang layak untuk dipilih.
Tidak ada yang salah dalam konteks bagaimana mempengaruhi opini publik, akan tetapi pada perspektif lain terutama dalam substansi nampaknya hal itu cenderung latah dan terlihat begitu dangkal seseorang ketika harus bersusah payah “memasarkan” dirinya sebagai seorang tokoh atau orang yang dapat dipercaya untuk dipilih menjadi anggota legislatif. Layaknya hukum pasar yang berlaku suplay and demain ataupun jual beli, maka politik tak ubahnya sebuah transaksi jual beli sebuah barang.
Kebebasan politik multi partai semenjak era orde baru tumbang pada tahun 1998 ibarat air bah yang berhasil menjebol bendungan “otorianisme nan oligarkis” pada waktu itu. Namanya juga air bah maka mengalir ke berbagai arah dan tidak jelas arah ujungnya. Kompetisi politik menjadi ajang perebutan kekuasaan dan setelahnya para pemenang seperti sedang mengeruk kembalinya modal yang sudah dikeluarkan ketika masa kampanye untuk iklan “jual dirinya”. Kelatahan inilah yang akhirnya menyebabkan para politisi terjebak dalam kubangan korupsi, tak peduli latar belakang keagamannya, tak peduli latar belakang pendidikannya semua seoalah telah masuk dalam logika pasar “jual beli”. Ketika jualan dan sudah ada yang beli maka suka-suka gue dong karena sudah jualan. Begitulah logika sesat politik yang mengabaikan substansinya. Politik dianggap hanya sebatas perebutan kelakuasaan dengan segala cara dan setelahnya kerakusan menyertainya.
Politik sejatinya adalah pengabdian tertinggi dalam kehidupan manusia, politik itu sesuatu yang mulia. Betapa tidak, hanya politik yang membicarakan sebuah tata kelola negara dan kesejahteraan rakyatnya. Suatu negara akan maju dan besar dimulai dari tata kelola politik yang baik. Apabila hal itu didasari oleh pengabdian maka para politisi semestinya sudah menyerahkan dirinya sebagai milik publik dan mati hidupnya adalah untuk kehidupan orang banyak. Politisi mestinya rela berkorban bukannya memakan korban. Korupsi politisi adalah bentuk nyata politisi telah memakan korban, siapa korbannya? Rakyat yang kelaparan, rakyat yang terlunta-lunta, rakyat yang tidak bisa mengeyam pendidikan, rakyat yang bingung mencari kerja akhirnya menjadi pelacur, perampok, penjambret, preman dan sebagainya, semua itu adalah korban-korban dari korupsi yang dilakukan para politisi.
Lantas bagaimana seharusnya kita sebagai sebuah bangsa membenahi keruwetan dalam berpolitik saat ini? Pertama,rakyat harus cerdas dan menggunakan mata hatinya untuk melihat calon-calon pemimpinnya dengan komitmen terhadap nasib banyak orang, yang sudah dilakukan jauh sebelum hiruk pikuk menjelang pemilu seperti sekarang ini. Kedua, melihat calon pemimpin yang tidak rakus dalam kekuasaan dengan cara melihat perilaku politiknya. Ketiga, melihat visi kepemimpinan yang melekat pada orang yang akan dipilihnya.
Sebagai contoh kita semua bisa menyaksikan perbedaan substasi politik yang diperankan oleh Joko Widodo (Jokowi) maupun Dahlan Iskan dibanding dengan calon lainnya. Mereka berdua layak dijadikan rujukan ketika kita melihat substansi politik sebagai pengabdian bukan sebagai perebutan kekuasaan semata apalagi sebagai sebuah karir dalam kehidupannya. Mereka saat ini sedang naik daun dibicarakan banyak orang bukan karena iklannya di media masa, melainkan dikenal karena kiprahnya yang kerap mengundang simpatik dengan keberhasilan kebijakan-kebijakan yang diputuskannya.
Ketika calon-calon lain sibuk beriklan, mereka justru tetap bekerja dan cenderung mengabaikan cara-cara instan dalam mengambil simpati publik. Mereka ikhlas bekerja dan bahkan mereka tidak mengambil gaji yang menjadi haknya sebagaimana jabatan yang dipegangnya. Jokowi yang dikenal semenjak menjabat walikota Surakarta tidak pernah mengambil gajinya, pun demikian dengan Dahlan Iskan ketika menjabat sebagai menteri BUMN tidak mengambil gajinya. Mereka berdua merupakan secercah harapan untuk mengembalikan politik selayaknya sebagai sebuah pengabdian mulia untuk membawa rakyatnya makmur dan sejahtera.
Dengan kata lain, logika sehatnya jangan mencoba menjadi politisi ketika tidak rela berkorban karena itu jelas akan memakan korban. Jadi mulai sekarang kita semua harus melihat calon-calon pemimpin bukan dari iklan melainkan dari pengabdian yang sudah diperbuat sebelumnya. Sehingga bila pemimpin-pemimpin bangsa ini yang terpilih karena proses itu maka tindakan korupsi yang dilakukan para politisi akan sirna dengan sendirinya. Semoga
Komentar0