Seperti halnya dalam permainan, agar persaingan politik itu sehat dan mencerahkan publik dan para aktor politik, selain tunduk pada aturan main, mereka seharusnya fokus beradu program, visi, dan misi. Dari sinilah publik bisa menilai seberapa kompeten kontestan tersebut layak menduduki jabatan publik.
Pertarungan gagasan dalam menyelesaikan masalah yang disampaikan kontestan secara elegan, misalnya, akan memberi edukasi politik bagi publik. Masyarakat bisa menilai kapabilitas seseorang ketika diminta merumuskan ide untuk menjawab permasalahan bangsa.
Masalah yang dihadapi negara selalu kompleks dan multidimensional karena itu pemimpin yang terpilih wajib memiliki kapasitas merumuskan jawabannya.
Kritik, begitu pula oposisi, di negara demokrasi mendapatkan tempat terhormat sepanjang itu dimaksudkan untuk mengoreksi kebijakan yang berjalan menyimpang. Tentu ada adab dan rambu menyangkut cara penyampaiannya demi menumbuhkan iklim politik yang sehat.
Pemimpin visioner pasti memiliki konsep yang operasional tentang bagaimana melepaskan Indonesia dari impor bahan bakar minyak fosil. Dia pun pasti mengantongi strategi menjadikan negeri ini memiliki kedaulatan pangan, bukan sekadar ketahanan pangan, misalnya.
Dalam perebutan kepemimpinan politik, menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, pertarungan antarkontestan seharusnya menyasar program, visi, dan misi, bukan malah mengeksploitasi isu SARA demi meraih kekuasaan.
Kemenangan yang diraih atas keberhasilan mengeksploitasi politik identitas dan SARA hanya akan menyisakan luka panjang bagi pihak yang kalah sekaligus berpotensi memecah belah bangsa dan menghancurkan keberagaman.
Politik akomodasi Presiden Joko Widodo dengan menempatkan Prabowo Subianto dalam posisi strategis sebagai Menteri Pertahanan ternyata tidak serta-merta menurunkan tensi perseteruan kubu Cebong dan Kampret.
Bahkan, bila mengikuti perang konten dari dua kubu di lini media sosial hari ini, berpotensi masih akan berlanjut hingga tahun 2024. Para pendengung (buzzers) yang berseteru di jagat maya, bila menyimak peta besarnya, tidak berbeda dibanding sebelumnya.
Setidaknya ada tiga aktor yang ikut membentuk iklim di jagat virtual saat ini, yakni politikus, media arus utama, dan media sosial yang telah melahirkan begitu banyak pemengaruh serta pendengung.
Dengan kekuatan jumlah pengikut (followers) mencapai ratusan ribu, konten kontroversial dan polemis yang diunggah pendengung akan cepat direplikasi, menyebar, kemudian membentuk bentang perkubuan di dunia maya.
Di era digital, batas dunia maya dengan nyata kian menipis karena yang terjadi di dua jagat itu merupakan cerminan realitas.
Betapa besar pengaruh pendengung tersebut dalam membentuk persepsi dan citra warganet terhadap subjek atau peristiwa yang diperbincangkan. Ada yang sengaja memanipulasi fakta atau peristiwa dengan tujuan tertentu yang diinginkan. Ada yang membingkai (framing) sedemikian rupa sehingga terjadi pembelokan fakta dan peristiwa. Ada pula yang memang sejak awal memproduksi konten diniatkan untuk semata menyerang kubu sebelah.
Suka tidak suka dan diakui atau tidak, fenomena pendengung memang ada dan memiliki andil dalam membentuk opini warganet. Bagi warganet yang orientasi pikiran, sikap, dan pilihannya satu frekuensi dengan pendengung, konten yang diunggah buzzer bisa menjadi amunisi untuk menyerang kubu lain.
Mereka punya andil membentuk perkubuan dan perseteruan, setidaknya di dunia maya, dalam banyak hajatan pemilihan di berbagai level.
Konten yang mendapat dukungan terkadang bukan karena berbasis fakta, melainkan semata karena ada kesamaan preferensi warganet dengan pengunggahnya. Konten hoaks yang diunggah terus-menerus seolah menjadi kebenaran. Tidak berlebihan bila zaman sekarang ini kita tengah berada pada masa post-truth alias pascakebenaran.
Mengingat besarnya pengaruh mereka dalam menciptakan kekeruhan pertarungan wacana di dunia maya, sudah saatnya tidak ada lagi aktor-aktor politik yang menggunakan tangan-tangan mereka yang selama ini memiliki jejak rekam lebih banyak menciptakan kekeruhan di dunia maya.
Betapa pun riuhnya perbincangan hingga pertarungan ide atau wacana di dunia maya, para politikus dan warganet tetap memiliki tanggung jawab menjaga ekosistem di jagat virtual agar tetap sehat.
Publik harus makin melek informasi, kritis, dan memiliki nyali melawan hoaks dengan menyajikan informasi yang faktual melalui platform yang dinilai efektif untuk memerangi kebohongan.
Media arus utama (mainstream) juga wajib mempertahankan idealisme dengan tetap memelihara independensi bukan malah terseret dalam perseteruan. Banyak pihak menaruh harapan besar kepada media arus utama (cetak, daring, televisi, dan radio) agar berperan menjadi penjernih atas kekeruhan informasi di dunia internet.
Media arus utama, yang dalam kerjanya menjunjung kode etik jurnalistik dan selalu memeriksa setiap informasi dan fakta sebelum memublikasikannya, memang layak mengemban tugas sebagai penjernih informasi di dunia maya.
Oleh karena itu pada pada hajatan akbar Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, media arus utama punya tanggung jawab profetik untuk selalu menyajikan informasi presisi.
Pertarungan gagasan dalam menyelesaikan masalah yang disampaikan kontestan secara elegan, misalnya, akan memberi edukasi politik bagi publik. Masyarakat bisa menilai kapabilitas seseorang ketika diminta merumuskan ide untuk menjawab permasalahan bangsa.
Masalah yang dihadapi negara selalu kompleks dan multidimensional karena itu pemimpin yang terpilih wajib memiliki kapasitas merumuskan jawabannya.
Kritik, begitu pula oposisi, di negara demokrasi mendapatkan tempat terhormat sepanjang itu dimaksudkan untuk mengoreksi kebijakan yang berjalan menyimpang. Tentu ada adab dan rambu menyangkut cara penyampaiannya demi menumbuhkan iklim politik yang sehat.
Pemimpin visioner pasti memiliki konsep yang operasional tentang bagaimana melepaskan Indonesia dari impor bahan bakar minyak fosil. Dia pun pasti mengantongi strategi menjadikan negeri ini memiliki kedaulatan pangan, bukan sekadar ketahanan pangan, misalnya.
Dalam perebutan kepemimpinan politik, menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, pertarungan antarkontestan seharusnya menyasar program, visi, dan misi, bukan malah mengeksploitasi isu SARA demi meraih kekuasaan.
Kemenangan yang diraih atas keberhasilan mengeksploitasi politik identitas dan SARA hanya akan menyisakan luka panjang bagi pihak yang kalah sekaligus berpotensi memecah belah bangsa dan menghancurkan keberagaman.
Politik akomodasi Presiden Joko Widodo dengan menempatkan Prabowo Subianto dalam posisi strategis sebagai Menteri Pertahanan ternyata tidak serta-merta menurunkan tensi perseteruan kubu Cebong dan Kampret.
Bahkan, bila mengikuti perang konten dari dua kubu di lini media sosial hari ini, berpotensi masih akan berlanjut hingga tahun 2024. Para pendengung (buzzers) yang berseteru di jagat maya, bila menyimak peta besarnya, tidak berbeda dibanding sebelumnya.
Setidaknya ada tiga aktor yang ikut membentuk iklim di jagat virtual saat ini, yakni politikus, media arus utama, dan media sosial yang telah melahirkan begitu banyak pemengaruh serta pendengung.
Dengan kekuatan jumlah pengikut (followers) mencapai ratusan ribu, konten kontroversial dan polemis yang diunggah pendengung akan cepat direplikasi, menyebar, kemudian membentuk bentang perkubuan di dunia maya.
Di era digital, batas dunia maya dengan nyata kian menipis karena yang terjadi di dua jagat itu merupakan cerminan realitas.
Betapa besar pengaruh pendengung tersebut dalam membentuk persepsi dan citra warganet terhadap subjek atau peristiwa yang diperbincangkan. Ada yang sengaja memanipulasi fakta atau peristiwa dengan tujuan tertentu yang diinginkan. Ada yang membingkai (framing) sedemikian rupa sehingga terjadi pembelokan fakta dan peristiwa. Ada pula yang memang sejak awal memproduksi konten diniatkan untuk semata menyerang kubu sebelah.
Suka tidak suka dan diakui atau tidak, fenomena pendengung memang ada dan memiliki andil dalam membentuk opini warganet. Bagi warganet yang orientasi pikiran, sikap, dan pilihannya satu frekuensi dengan pendengung, konten yang diunggah buzzer bisa menjadi amunisi untuk menyerang kubu lain.
Mereka punya andil membentuk perkubuan dan perseteruan, setidaknya di dunia maya, dalam banyak hajatan pemilihan di berbagai level.
Konten yang mendapat dukungan terkadang bukan karena berbasis fakta, melainkan semata karena ada kesamaan preferensi warganet dengan pengunggahnya. Konten hoaks yang diunggah terus-menerus seolah menjadi kebenaran. Tidak berlebihan bila zaman sekarang ini kita tengah berada pada masa post-truth alias pascakebenaran.
Mengingat besarnya pengaruh mereka dalam menciptakan kekeruhan pertarungan wacana di dunia maya, sudah saatnya tidak ada lagi aktor-aktor politik yang menggunakan tangan-tangan mereka yang selama ini memiliki jejak rekam lebih banyak menciptakan kekeruhan di dunia maya.
Betapa pun riuhnya perbincangan hingga pertarungan ide atau wacana di dunia maya, para politikus dan warganet tetap memiliki tanggung jawab menjaga ekosistem di jagat virtual agar tetap sehat.
Publik harus makin melek informasi, kritis, dan memiliki nyali melawan hoaks dengan menyajikan informasi yang faktual melalui platform yang dinilai efektif untuk memerangi kebohongan.
Media arus utama (mainstream) juga wajib mempertahankan idealisme dengan tetap memelihara independensi bukan malah terseret dalam perseteruan. Banyak pihak menaruh harapan besar kepada media arus utama (cetak, daring, televisi, dan radio) agar berperan menjadi penjernih atas kekeruhan informasi di dunia internet.
Media arus utama, yang dalam kerjanya menjunjung kode etik jurnalistik dan selalu memeriksa setiap informasi dan fakta sebelum memublikasikannya, memang layak mengemban tugas sebagai penjernih informasi di dunia maya.
Oleh karena itu pada pada hajatan akbar Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, media arus utama punya tanggung jawab profetik untuk selalu menyajikan informasi presisi.
Komentar0