Bayangkan bekerja begitu keras sampai hampir tak punya waktu untuk pergi ke toilet, sementara di saat yang sama harus memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup dari kanker.
Peristiwa ini terjadi di Tiongkok, di tengah deretan kios makanan kecil yang berdempetan.
Di pusat kisah ini ada seorang pedagang berusia 50 tahun yang dikenal baik oleh semua orang.
Ia selalu buka paling pagi, tutup paling malam, dan tak pernah menurunkan kualitas dagangannya.
Para pedagang lain kemudian bercerita bahwa ia bekerja tanpa henti, bahkan sering melewatkan kebutuhan dasar, hanya demi menjaga usahanya tetap hidup.
Lalu datanglah diagnosis itu: kanker.
Biaya pengobatan, jelas di luar kemampuannya.
Ia tidak meminta bantuan.
Namun orang-orang di sekitarnya menyadari apa yang terjadi.
Para pemilik kios makanan di sekitarnya, yang sehari-hari justru menjadi pesaingnya, diam-diam menyepakati sesuatu yang tak biasa.
Selama satu hari penuh, mereka menurunkan kode QR pembayaran milik mereka sendiri dan menggantinya dengan kode QR miliknya.
Pelanggan tetap mengantre seperti biasa.
Pesanan tetap dibuat. Ponsel tetap dipindai.
Dan tanpa disadari, setiap pembayaran langsung masuk ke rekening si pedagang yang sakit itu.
Ia sama sekali tidak tahu.
Ia baru menyadarinya ketika ponselnya terus-menerus menyala karena notifikasi pembayaran masuk.
Dalam waktu 24 jam, sekitar US$2.900 terkumpul.
Ketika ia mengetahui dari mana uang itu berasal, ia dikabarkan menangis terisak.
Bukan karena sedekah, melainkan karena bantuan itu datang dari orang-orang yang setiap hari bersaing dengannya.
Di pasar-pasar jalanan seperti ini, hidup adalah perjuangan harian.
Kerja tak pernah berhenti.
Keuntungan tak pernah pasti.
Namun ketika penyakit menimpa salah satu dari mereka, persaingan pun lenyap.
Terkadang, rasa kebersamaan tidak perlu diumumkan.
Terkadang, ia hanya datang dengan tenang dan membayar tagihannya.
Komentar0